Senin, 18 Maret 2013

Prosesi Adat Perkawinan Daerah Lintang IV Lawang



Lintang IV Lawang yang letaknya diujung barat Kabupaten Lahat, memiliki corak dan kebiasaan tersendiri dalam hal proses perkawinan atau hal memilih calon pasangan hidup.
Konon pada masa lalu sangat tertib dan sangat berpegang teguh pada aturan dan kebiasaan dalam bermasyarakat, bila ada yang melanggar aturan yang tidak tertulis itu bisa saja berakibat fatal sebab dapat mengundang perkelahian bahkan mungkin sampai ke pembunuhan, mengerikan memang kedengarannya, tapi itulah ciri khas daerah Lintang IV Lawang.

          Masyarakat Lintang IV Lawang umumnya memiliki sifat yang halus dan sangat perasa, walaupun kasar tindakannya. Jarang sekali orang Lintang IV Lawang kalau ingin menyampaikan keinginannya dengan cara tembak langsung, paling tidak basa basi dulu.
          Disamping cukup memiliki toleransi dan suka membantu, sikap ini tercermin, bila mereka mengolah tanah pertanian misalnya, Ngersayo Nebang, Ngersayo Nugal, Ngersayo Ngetam dan lain lain.
          Dengan sikap yang demikian ini sebetulnya dapat memupuk rasa persaudaraan yang erat, saling mengenal satu sama lainnya. Disaat Ngersayo-ngersayo ini juga memberikan kesempatan muda mudi berkomunikasi, bahkan dapat menciptakan hubungan percintaan dan berakhir pada perkawinan.

          Muda mudi daerah Lintang IV Lawang bila sedang dilanda cinta, mereka melakukan hubungan secara sembunyi sembunyi karena takut diketahui pihak keluarga sigadis, khususnya ayah atau saudara laki laki sigadis tersebut.
          Kalau saja pihak keluarga sigadis tahu atau sengaja bersenda gurau dihadapan mereka, maka itu dianggap tidak menghargai (Ngampuk), hal inilah yang sering “Kena Puntung”.
          Bila sibujang ingin bertemu (ngecek) dengan seorang gadis, maka dia harus menyuruh seseorang utusan untuk menemui gadis tersebut, dan mengundang untuk bertemu disalah sebuah rumah tetangga atau kelurga, jika gadis merasa setuju, lalu si utusan itu kembali menyampaikan berita itu kepada sibujang tadi. 

          Didalam menyampaikan keinginan untuk berumah tangga, baik bujang maupun gadis boleh langsung menyampaikan kepada orang tua mereka secara langsung atau melalui pihak ketiga ( kakek, nenek, uwak atau kakak ) bila merasa singku (malu).
Setelah tiba saatnya hari yang dijanjikan untuk memadu rasan, pihak keluarga sang bujang datang kerumah sigadis dan disertai oleh seorang diplomatis (pemegang rasan).
          Demikian juga sebaliknya pihak gadis juga menyiapkan seorang pemegang rasan, dalam hal ini tentunya orang tersebut pandai bicara, dan mengenai pada sasaran yang diinginkan oleh pemberi amanah.

          Dirumah si gadis sebagai ajang pertemuan untuk memadu rasan, para sanak keluarga telah berkumpul untuk mendengarkan dan memberi dorongan agar rasan tersebut berjalan baik dan lancar.
          Dua orang utusan pemegang rasan mulai melakukan pembicaraan dengan taktis dan penuh lika liku, yang akhirnya menemukan kata sepakat yaitu ; menetapkan tanggal pernikahannya, permintaan mas kawin dan bantuan materi ( bentalan yang mencakup hewan potong, beras, uang dsb ).

          Kesemuanya itu diperuntukan sebagai biaya pelaksanaan resepsi pernikahan, kecuali Maskawin yang berupa Emas adalah merupakan hak penuh untuk sigadis, suasana pertemuan tidak menjadi tegang lagi dengan adanya kata sepakat telah didapat, janjipun telah diikat dan sampai pada giliran kapan bujang akan diantat.
          Kini sibujang telah menjadi calon penganten dan sigadis menjadi calon bunting, masing masing diantar kerumah calon mertua untuk mengisi masa pertunangan selama jangka waktu yang telah ditentukan.

          Dalam proses calon bunting diantar kerumah calon penganten, dan calon penganten diantar kerumah calon bunting di sebut; “Baantatan”, biasanya diawali calon bunting dahulu datang kerumah calon penganten, barulah secara bersamaan calon penganten dan calon bunting datang kerumah calon bunting.
          Bagi orang tua dalam menyambut calon menantu, biasanya kalau zaman dahulu diperahkan ayek sighehg (air sirih) dan kembang kembangan dan sertai dengan doa doa.
          Pelaksanaan ‘Baantatan’ ini disertai dengan pesta kecil yang disebut “Nyerawo”, dilakukan pada hari penganten mau turun dari rumah, sebagai ungkapan rasa kegembiraan, maka muda mudi mengadakan acara Bajidur, tari-tarian( dibawah tahun 60 an) dan ramah tamah (kalau sekarang). 

          Beberapa hari setelah selesai ‘Baantatan’, calon bunting dan calon penganten diperkenalkan dengan sanak keluarganya yang disebut dengan “Nundokan Bunting atau Penganten”, setelah itu mereka akan meniti masa pertunangan,.
          Selama masa pertunangan mereka diharuskan membantu segala macam pekerjaan calon mertua, masa pertunangan ini tergantung dari hasil perasanan dulu bisa 1 tahun atau lebih, masa pertunangan yang panjang ini dimaksudkan untuk penilaian calon bunting / penganten baik sikap, tingkah laku, kejujuran maupun keimanannya.

          Disamping itu juga masalah keterampilan, kemampuan dan kesungguhan untuk berumah tangga, penilaian semacam ini nampaknya perlu dilakukan dikarenakan masyarakat daerah Lintang IV Lawang umumnya tidak mengalami masa berpacaran / belinjangan yang cukup lama, untuk menilai isi hati calon yang dipilihnya tersebut.
Hal yang wajar bila muda mudi daerah Lintang IV Lawang baru satu atau dua kali bertemu/ngecek, langsung memadu rasan.

          Sebagai konsekuensinya bila penilaian antara calon bunting dan calon penganten tidak cocok, maka perkawinan mereka akan dibatalkan.
Betapa sakit hati kalau mengalami hal semacam ini, bukankah tadi sicalon tersebut sudah membantu segala macam pekerjaan calon mertua ( nebas, nebang, nyawat, ngetam, pokok o nyadi kebau putih ), disamping itu nama baikpun sudah tercemar, sebab dimata masyarakat orang tersebut tidak ada kecakapan (Kedaekan) sehingga menyulitkan untuk meminang gadis lain. Oleh karena itu calon bunting dan calon penganten harus lebih berhati hati jangan sampai rasan batal (rasan orong), jika perlu kalau tadinya kurang rajin bekerja dan beribadah maka pada masa pertunangan ini harus ditingkatkan, agar mendapat penilaian ( penindaian ) dari calon mertua.

          Bila masa tunangan itu berjalan lancar dan cocok, menurut penindaian calon mertua, maka proses selanjutnya adalah acara pesta pernikahan.
          Menjelang dua minggu lagi pesta pernikahan, orang tua calon bunting mengadakan pertemuan secara singkat dengan orang tua calon penganten, dan menanyakan persiapan bentalan yang dijanjikan, hari apa bisa diantar.
          Dari hasil pertemuan akan didapat jawaban kepastian kapan bentalan akan dikirim, maka sebelum bentalan diantar kerumah calon bunting, akan didirikan Lembongan.
          Lembongan ini didirikan gunanya untuk perluasan tempat masak memasak, sebab kapasitas dapur tidak memungkinkan, karena terlalu sempit untuk menampung orang banyak, dari mulai mendirikan lembongan hingga pesta selesai diadakan pembagian tugas yaitu :
- Mendirikan Lembongan dikerjakan orang tua laki laki, sedangkan ibu ibu mengambil daun daunan dan mengumpulkan sayur sayuran, misalnya ngambik nangko, gedang, teghung dan lain lain.
- Orang tua calon bunting/penganten, mengundang sanak keluarga (bajeghum), agar meramaikan pesta pernikahan anaknya.
- Sedangkan muda mudi, yang gadis membuat kue kue dan yang bujang membuat dekorasi (aesan), bujang dan gadis yang bekerja disini disebut gertang (matangaguk).

          Beberapa hari kemudian barulah bentalan datang dari calon penganten, pada hari ngantat bentalan, penganten tersebut datang kerumah bunting bersama bentalan an ditempatkan dirumah khusus buat calon penganten yang disebut rumah mendan.
          Dirumah ini penganten hanya ditemani oleh inang yang dipilihnya sendiri, untuk melayani keperluannya dalam menghadapi hari pesta pernikahannya, sampai selesai.
          Setibanya bentalan dirumah calon bunting (rumah pangkal), kesibukanpun semakin bertambah, para warga sekitar berdatangan dan membawa beras, ayam dan lain lain sebagai sumbangan (petolong), disamping itu mereka membantu segala macam pekerjaan yang ada.
          Tiga hari lagi menjelang hari pesta pernikahan, tuan rumah mengumpulkan sanak keluarga dan warga sekitarnya untuk menyerahkan tugas secara resmi yang disebut “Nyerahkan Aguk” (kalau sekarang sama dengan membentuk panitia).

          Orang yang diberi tugas ini harus bertanggung jawab penuh atas tugas yang diberikan kepadanya, baik itu soal masak memasak ataupun urusan lampu dan sebagainya, biasanya para pengemban tugas ini mulai melakukan kegiatannya pada hari malemang (satu hari sebelum hari pernikahan), hingga esok harinya hari pesta pernikahan (hari nyemelek atau nyemok=nyelemok).
          Kini hari melemang telah tiba, hari berganti senja, senjapun berganti malam, para sanak keluarga, alim ulama dan handai tolan telah memenuhi ruangan untuk menyaksikan akad nikah.
Calon penganten dengan pakaian adat ala pakaian haji mulai diturunkan dari rumah mendan dan akan dibawa kerumah pangkal.

          Selangkah demi selangkah sang penganten dituntun para penjemput dan diiringi dengan arak arakan, hati sang penganten berdebar debar, getaran jantungnya kian berdetup semakin kencang, karena membayangkan sesaat lagi dia akan resmi menjadi penganten.
          Setibanya penganten dirumah bunting, dia disambut bagai pangeran yang akan dinobatkan menjadi raja, Kalam Illahi mulai dikumandangkan, segala petunjuk dan persyaratan dari ajaran agama telah dibacakan.
          Kini giliran penganten mengucapkan akad nikah yang disaksikan khalayak ramai, dalam mengucapkan akad nikah harus betul betul memenuhi ketentuan agama Islam.
Acara akad nikah telah selesai, penganten dipersilakan duduk berdampingan dengan bunting (bersanding) diatas pelaminan, disuasana yang mengembirakan ini berbagai bentuk hiburan akan diturunkan untuk menghangatkan suasana pesta pernikahan ini.

          Hiburan dalam pesta pernikahan ini telah banyak mengalami perubahan, dari kurun waktu sampai dengan kurun waktu sekarang.
          Sebelum tahun ’20 an hiburan / acara kesenian yang ada “Ngala Sambai atau Badindin”, yaitu muda mudi mengungkapkan isi hati lewat seni, apakah itu berupa keinginan hidup atau berbau sejarah perjuangan. Hiburan semacam ini dianggap paling tua, kemudian tari tarian sampai mereka mengenal alat music sederhana yang berupa jidur, ketipung, kulintang dan gong.
          Setelah tahun ‘20an sampai tahun’50an acara hiburan lebih ditonjolkan yang bersipat keagamaan misalnya, kosidah, diqir, seni baca berzanji dan seni baca Al-Qur’an, sedang alat music berupa terbangan. Pada masa ini bukan berarti seni tradisional sebelumnya sudah hilang sama sekali, contohnya bajidur masih tetap dipakai, namun lebih dominan dalam acara pesta pernikahan adalah kosidahan.
          Pada mulanya kosidahan yang mereka kenal hanya 24 macam diantaranya adalah : Roqbi, Hijaz, Yaman Hijaz, Sika dan seterusnya. Kemudian berkembang menjadi ratusan macam, kasidahan yang pada umumnya diambil dari bacaan barzanji dan digelarkan pada malam pesta pernikahan, dan dipertandingkan dengan mengadu suara mas masing masing group.
          Disamping terbangan dikenal juga alat music gitar, music gitar ini adalah pengembangan dari jidur, dimana lirik dan makna lagunya sama, serta vokalnya dibawakan sendiri, hanya saja nama lagu yang dibawakan disebut Rejung.
Sedang irama rejung dapat berkembang bermacam macam, melalui rejung dapat pula mengungkapkan isi hati, menceritakan suka duka dalam perjalanan hidup, merayu dan membuat hati sang gadis tersentuh serta menghibur hati dikala sedih. Namun gitar ini tidak digunakan pada acara pesta pernikahan, sedang terbangan hanya digunakan dalam pesta pernikahan misalnya ; “ngarak bunting & penganten, atau mengiringi lagu diqir / ratib saman” pada malam pesta pernikahan. 

          Di tahun 50 an mulai dikenal orkes, orang yang pertama mengenalkan music orkes di daerah Lintang IV Lawang bernama BODIN, asal dusun Muara Karang.
Sampai akhirnya dia membentuk suatu group orkes dengan nama Jaya Jagad, tokoh seniman ini dan bersama orkesnya menjelajahi hampir setiap pelosok daerah Lintang IV Lawang untuk menghibur pada acara pesta pernikahan.

          Music orkes ini diadakan mulai dari malam akad pernikahan sampai hari pesta pernikahan (hari nyelemok /nyemok) dan ditempatkan pada tempat khusus yang disebut Balai.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan di rumah pangkal pada malam hari akad nikah dan pesta akad nikah, menjadi tempat untuk menjamu para undangan yang datang sebelum sampai waktu acara bunting dan penganten betamat Qur’an ( khatam Qur’an ), disamping acara betamat Qur’an, juga dibacakan barzanji, marhaban, doa doa dan dilanjutkan dengan jamuan makan siang (Nyelemok/Nyemok).

          Bila acara nyelemok/nyemok telah selesai, para tamupun berpamitan minta diri, sedangkan Bunting dan Penganten baru ditunggalkan (tidur bersama) setelah hari nyerawo, yaitu dua hari setelah pernikahan selesai.
          Pada hari tersebut lembongan/sempeng akan dibongkar dan semua gertang dan inang diantar pulang secara resmi, dengan diberi hidangan setalam sebagai ucapan terima kasih. Baru pada hari ketiga atau keempat Bunting dan Penganten tidur bersama, didalam menunggalkan Bunting dan Penganten ini ditunjuk seorang perempuan yang sudah nenek nenek untuk membawa penganten ke kamar bunting, Sang nenek memberikan petunjuk dan membisikan sesuatu yang rahasia, lalu si nenek keluar dari kamar, berikutnya kita tidak tahu apa yang terjadi didalam kamar.

Sebagai penutup adat pernikahan didaerah Lintang IV Lawang, disini kami jelaskan dalam menentukan pasangan hidup ada beberapa cara yang dikenal didaerah Lintang IV Lawang adalah sebagai berikut :

1 - Rasan Samo Galak dan Dituokan.
Yaitu, muda mudi suka sama suka dan orang tua kedua belah pihak sama sama setuju, prosesnya seperti yang telah diuraikan diatas.

2 - Maling Tubu
Orang tua disalah satu pihak ada yang belum setuju kalau anaknya cepat menikah atau karena alasan lain, sehingga setiap mau dituokan selalu mengalami kegagalan. Maka sang muda mudi sepakat untuk maling tubu, yaitu sang bujang menemui gadisnya untuk diajak kerumahnya, dengan cara ini akan memaksakan orang tua untuk berasan.
Dalam maling tubu ini ada aturannya, antara lain sang bujang harus menitipkan “keris” pada pemerintah kampong (kalau sekarang disebut Kades, zaman dahulu disebut Gindo), atau paling tidak keris tersebut diletakan dibawah bantal sang gadis (tentu menyuruh sang gadis itu sendiri meletakannya), sebab maling tubu ini tidak boleh ketahuan oleh keluarga sang gadis, bila sampai ketahuan berakibat batal hak, yang disebut “kecandak”.
Keris yang dititipkan dirumah gindo atau yang diletakan dikamar gadis tersebut dimaksudkan sebagai jaminan untuk keselamatan sang gadis, bahwa yang membawa adalah anak laki laki dan berniat baik untuk menyunting gadis.

Gadis yang dibawa harus ditemani oleh beberapa orang temannya, sang bujangpun demikian, baru kemudian seorang yang ditunjuk sebagai utusan dari pihak bujang untuk memberi tahukan kepada keluarga gadis, bahwa anaknya sekarang ada dirumah sianu, untuk selanjutnya diproses seperti biasa.

3 - Rasan Tambik Anak dan Rasan Kesah
Pada saat memadu rasan harus tetap di tempat mereka menetap setelah berumah tangga nanti.
“Rasan Tambik Anak”, berarti setelah mereka menikah menetap dan mencari nafkah dirumah bunting (rumah perempuan), sedangkan “Rasan Kesah”, berarti perempuan ikut kerumah laki laki dengan ketentuan sebagai berikut ;
a. Laki laki harus memberikan uang yang wajar dan
b. Memberikan Keris kepada orang tua perempuan, Keris ini dimaksudkan sebagai “Tebus Semangat”.

4 - Kawin Cindo
Yaitu pernikahan yang masih ada hubungan family, hal ini terjadi biasanya karena keinginan orang tua, dan bisa jadi karena keduanya suka sama suka.


Sumber :  http://forumlintangempatlawang.blogspot.com

1 komentar: