Lintang IV Lawang yang letaknya diujung barat Kabupaten
Lahat, memiliki corak dan kebiasaan tersendiri dalam hal proses
perkawinan atau hal memilih calon pasangan hidup.
Konon pada masa lalu sangat tertib
dan sangat berpegang teguh pada aturan dan kebiasaan dalam bermasyarakat, bila
ada yang melanggar aturan yang tidak tertulis itu bisa saja berakibat fatal
sebab dapat mengundang perkelahian bahkan mungkin sampai ke pembunuhan,
mengerikan memang kedengarannya, tapi itulah ciri khas daerah Lintang IV
Lawang.
Masyarakat
Lintang IV Lawang umumnya memiliki sifat yang halus dan sangat perasa, walaupun
kasar tindakannya. Jarang sekali orang Lintang IV Lawang kalau ingin menyampaikan
keinginannya dengan cara tembak langsung, paling tidak basa basi dulu.
Disamping cukup
memiliki toleransi dan suka membantu, sikap ini tercermin, bila mereka mengolah
tanah pertanian misalnya, Ngersayo
Nebang, Ngersayo Nugal, Ngersayo Ngetam dan lain lain.
Dengan sikap yang
demikian ini sebetulnya dapat memupuk rasa persaudaraan yang erat, saling
mengenal satu sama lainnya. Disaat Ngersayo-ngersayo ini juga memberikan
kesempatan muda mudi berkomunikasi, bahkan dapat menciptakan hubungan
percintaan dan berakhir pada perkawinan.
Muda mudi daerah
Lintang IV Lawang bila sedang dilanda cinta, mereka melakukan hubungan secara
sembunyi sembunyi karena takut diketahui pihak keluarga sigadis, khususnya ayah
atau saudara laki laki sigadis tersebut.
Kalau saja pihak
keluarga sigadis tahu atau sengaja bersenda gurau dihadapan mereka, maka itu
dianggap tidak menghargai (Ngampuk),
hal inilah yang sering “Kena
Puntung”.
Bila sibujang ingin
bertemu (ngecek) dengan
seorang gadis, maka dia harus menyuruh seseorang utusan untuk menemui gadis
tersebut, dan mengundang untuk bertemu disalah sebuah rumah tetangga atau kelurga,
jika gadis merasa setuju, lalu si utusan itu kembali menyampaikan berita itu
kepada sibujang tadi.
Didalam
menyampaikan keinginan untuk berumah tangga, baik bujang maupun gadis boleh
langsung menyampaikan kepada orang tua mereka secara langsung atau melalui
pihak ketiga ( kakek, nenek, uwak atau kakak ) bila merasa singku (malu).
Setelah tiba saatnya hari yang dijanjikan untuk memadu rasan,
pihak keluarga sang bujang datang kerumah sigadis dan disertai oleh seorang
diplomatis (pemegang rasan).
Demikian juga
sebaliknya pihak gadis juga menyiapkan seorang pemegang rasan, dalam hal ini
tentunya orang tersebut pandai bicara, dan mengenai pada sasaran yang
diinginkan oleh pemberi amanah.
Dirumah si gadis
sebagai ajang pertemuan untuk memadu rasan, para sanak keluarga telah berkumpul
untuk mendengarkan dan memberi dorongan agar rasan tersebut berjalan baik dan
lancar.
Dua orang utusan
pemegang rasan mulai melakukan pembicaraan dengan taktis dan penuh lika liku,
yang akhirnya menemukan kata sepakat yaitu ; menetapkan tanggal pernikahannya,
permintaan mas kawin dan bantuan materi ( bentalan yang mencakup hewan potong, beras, uang dsb ).
Kesemuanya itu
diperuntukan sebagai biaya pelaksanaan resepsi pernikahan, kecuali Maskawin
yang berupa Emas adalah merupakan hak penuh untuk sigadis, suasana pertemuan
tidak menjadi tegang lagi dengan adanya kata sepakat telah didapat, janjipun telah diikat dan sampai pada giliran
kapan bujang akan diantat.
Kini sibujang telah
menjadi calon penganten
dan sigadis menjadi calon bunting,
masing masing diantar kerumah calon mertua untuk mengisi masa pertunangan
selama jangka waktu yang telah ditentukan.
Dalam proses calon
bunting diantar kerumah calon penganten, dan calon penganten diantar kerumah
calon bunting di sebut; “Baantatan”,
biasanya diawali calon bunting dahulu datang kerumah calon penganten, barulah
secara bersamaan calon penganten dan calon bunting datang kerumah calon
bunting.
Bagi orang tua
dalam menyambut calon menantu, biasanya kalau zaman dahulu diperahkan ayek sighehg (air sirih) dan kembang
kembangan dan sertai dengan doa doa.
Pelaksanaan ‘Baantatan’ ini disertai dengan
pesta kecil yang disebut “Nyerawo”,
dilakukan pada hari penganten mau turun dari rumah, sebagai ungkapan rasa
kegembiraan, maka muda mudi mengadakan acara Bajidur, tari-tarian( dibawah
tahun 60 an) dan ramah tamah (kalau sekarang).
Beberapa
hari setelah selesai ‘Baantatan’,
calon bunting dan calon penganten diperkenalkan dengan sanak keluarganya yang
disebut dengan “Nundokan Bunting
atau Penganten”, setelah itu mereka akan meniti masa pertunangan,.
Selama
masa pertunangan mereka diharuskan membantu segala macam pekerjaan calon
mertua, masa pertunangan ini tergantung dari hasil perasanan dulu bisa 1 tahun
atau lebih, masa pertunangan yang panjang ini dimaksudkan untuk penilaian calon
bunting / penganten baik sikap, tingkah laku, kejujuran maupun keimanannya.
Disamping
itu juga masalah keterampilan, kemampuan dan kesungguhan untuk berumah tangga,
penilaian semacam ini nampaknya perlu dilakukan dikarenakan masyarakat daerah
Lintang IV Lawang umumnya tidak mengalami masa berpacaran / belinjangan yang
cukup lama, untuk menilai isi hati calon yang dipilihnya tersebut.
Hal yang wajar bila muda mudi daerah Lintang
IV Lawang baru satu atau dua kali bertemu/ngecek,
langsung memadu rasan.
Sebagai
konsekuensinya bila penilaian antara calon bunting dan calon penganten tidak
cocok, maka perkawinan mereka akan dibatalkan.
Betapa sakit hati kalau mengalami hal semacam
ini, bukankah tadi sicalon tersebut sudah membantu segala macam pekerjaan calon
mertua ( nebas, nebang, nyawat,
ngetam, pokok o nyadi kebau putih ), disamping itu nama baikpun
sudah tercemar, sebab dimata masyarakat orang tersebut tidak ada kecakapan (Kedaekan) sehingga menyulitkan
untuk meminang gadis lain. Oleh karena itu calon bunting dan calon penganten
harus lebih berhati hati jangan sampai rasan batal (rasan orong), jika perlu kalau tadinya kurang rajin bekerja
dan beribadah maka pada masa pertunangan ini harus ditingkatkan, agar mendapat
penilaian ( penindaian ) dari
calon mertua.
Bila
masa tunangan itu berjalan lancar dan cocok, menurut penindaian calon mertua,
maka proses selanjutnya adalah acara pesta pernikahan.
Menjelang
dua minggu lagi pesta pernikahan, orang tua calon bunting mengadakan pertemuan
secara singkat dengan orang tua calon penganten, dan menanyakan persiapan bentalan yang dijanjikan, hari apa
bisa diantar.
Dari
hasil pertemuan akan didapat jawaban kepastian kapan bentalan akan dikirim,
maka sebelum bentalan diantar kerumah calon bunting, akan didirikan Lembongan.
Lembongan ini didirikan gunanya untuk perluasan tempat masak memasak, sebab
kapasitas dapur tidak memungkinkan, karena terlalu sempit untuk menampung orang
banyak, dari mulai mendirikan lembongan hingga pesta selesai diadakan pembagian
tugas yaitu :
- Mendirikan Lembongan dikerjakan orang tua
laki laki, sedangkan ibu ibu mengambil daun daunan dan mengumpulkan sayur
sayuran, misalnya ngambik nangko, gedang, teghung dan lain lain.
- Orang tua calon bunting/penganten, mengundang
sanak keluarga (bajeghum),
agar meramaikan pesta pernikahan anaknya.
- Sedangkan muda mudi, yang gadis membuat kue
kue dan yang bujang membuat dekorasi (aesan),
bujang dan gadis yang bekerja disini disebut gertang (matangaguk).
Beberapa
hari kemudian barulah bentalan datang dari calon penganten, pada hari ngantat
bentalan, penganten tersebut datang kerumah bunting bersama bentalan an
ditempatkan dirumah khusus buat calon penganten yang disebut rumah mendan.
Dirumah
ini penganten hanya ditemani oleh inang
yang dipilihnya sendiri, untuk melayani keperluannya dalam menghadapi hari
pesta pernikahannya, sampai selesai.
Setibanya
bentalan dirumah calon bunting (rumah
pangkal), kesibukanpun semakin bertambah, para warga sekitar
berdatangan dan membawa beras, ayam dan lain lain sebagai sumbangan (petolong), disamping itu mereka
membantu segala macam pekerjaan yang ada.
Tiga
hari lagi menjelang hari pesta pernikahan, tuan rumah mengumpulkan sanak
keluarga dan warga sekitarnya untuk menyerahkan tugas secara resmi yang disebut
“Nyerahkan Aguk” (kalau
sekarang sama dengan membentuk panitia).
Orang
yang diberi tugas ini harus bertanggung jawab penuh atas tugas yang diberikan
kepadanya, baik itu soal masak memasak ataupun urusan lampu dan sebagainya,
biasanya para pengemban tugas ini mulai melakukan kegiatannya pada hari malemang (satu hari sebelum hari
pernikahan), hingga esok harinya hari pesta pernikahan (hari nyemelek atau nyemok=nyelemok).
Kini hari melemang telah tiba, hari berganti senja, senjapun berganti malam,
para sanak keluarga, alim ulama dan handai tolan telah memenuhi ruangan untuk
menyaksikan akad nikah.
Calon penganten dengan pakaian adat ala
pakaian haji mulai diturunkan dari rumah mendan dan akan dibawa kerumah
pangkal.
Selangkah
demi selangkah sang penganten dituntun para penjemput dan diiringi dengan arak
arakan, hati sang penganten berdebar debar, getaran jantungnya kian berdetup
semakin kencang, karena membayangkan sesaat lagi dia akan resmi menjadi
penganten.
Setibanya
penganten dirumah bunting, dia disambut bagai pangeran yang akan dinobatkan
menjadi raja, Kalam Illahi
mulai dikumandangkan, segala petunjuk dan persyaratan dari ajaran agama telah
dibacakan.
Kini
giliran penganten mengucapkan akad nikah yang disaksikan khalayak ramai, dalam
mengucapkan akad nikah harus betul betul memenuhi ketentuan agama Islam.
Acara
akad nikah telah selesai, penganten dipersilakan duduk berdampingan dengan
bunting (bersanding)
diatas pelaminan, disuasana yang mengembirakan ini berbagai bentuk hiburan akan
diturunkan untuk menghangatkan suasana pesta pernikahan ini.
Hiburan
dalam pesta pernikahan ini telah banyak mengalami perubahan, dari kurun waktu
sampai dengan kurun waktu sekarang.
Sebelum
tahun ’20 an hiburan /
acara kesenian yang ada “Ngala
Sambai atau Badindin”, yaitu muda mudi mengungkapkan isi hati lewat
seni, apakah itu berupa keinginan hidup atau berbau sejarah perjuangan. Hiburan
semacam ini dianggap paling tua, kemudian tari tarian sampai mereka mengenal
alat music sederhana yang berupa jidur,
ketipung, kulintang dan gong.
Setelah
tahun ‘20an sampai tahun’50an acara hiburan lebih ditonjolkan yang bersipat
keagamaan misalnya, kosidah, diqir,
seni baca berzanji dan seni baca Al-Qur’an, sedang alat music berupa
terbangan. Pada masa ini
bukan berarti seni tradisional sebelumnya sudah hilang sama sekali, contohnya
bajidur masih tetap dipakai, namun lebih dominan dalam acara pesta pernikahan
adalah kosidahan.
Pada
mulanya kosidahan yang mereka kenal hanya 24 macam diantaranya adalah : Roqbi, Hijaz, Yaman Hijaz, Sika
dan seterusnya. Kemudian berkembang menjadi ratusan macam, kasidahan yang pada
umumnya diambil dari bacaan barzanji dan digelarkan pada malam pesta
pernikahan, dan dipertandingkan dengan mengadu suara mas masing masing group.
Disamping
terbangan dikenal juga alat music gitar, music gitar ini adalah pengembangan
dari jidur, dimana lirik dan makna lagunya sama, serta vokalnya dibawakan
sendiri, hanya saja nama lagu yang dibawakan disebut Rejung.
Sedang
irama rejung dapat berkembang bermacam macam, melalui rejung dapat pula
mengungkapkan isi hati, menceritakan suka duka dalam perjalanan hidup, merayu
dan membuat hati sang gadis tersentuh serta menghibur hati dikala sedih. Namun
gitar ini tidak digunakan pada acara pesta pernikahan, sedang terbangan hanya
digunakan dalam pesta pernikahan misalnya ; “ngarak bunting & penganten,
atau mengiringi lagu diqir / ratib
saman” pada malam pesta pernikahan.
Di
tahun 50 an mulai dikenal orkes, orang yang pertama mengenalkan music orkes di
daerah Lintang IV Lawang bernama BODIN,
asal dusun Muara Karang.
Sampai
akhirnya dia membentuk suatu group orkes dengan nama Jaya Jagad, tokoh seniman ini dan bersama orkesnya menjelajahi
hampir setiap pelosok daerah Lintang IV Lawang untuk menghibur pada acara pesta
pernikahan.
Music
orkes ini diadakan mulai dari malam akad pernikahan sampai hari pesta
pernikahan (hari nyelemok /nyemok)
dan ditempatkan pada tempat khusus yang disebut Balai.
Sedangkan
kegiatan yang dilakukan di rumah pangkal pada malam hari akad nikah dan pesta
akad nikah, menjadi tempat untuk menjamu para undangan yang datang sebelum
sampai waktu acara bunting dan penganten betamat Qur’an ( khatam Qur’an ), disamping acara betamat
Qur’an, juga dibacakan barzanji, marhaban, doa doa dan dilanjutkan dengan
jamuan makan siang (Nyelemok/Nyemok).
Bila
acara nyelemok/nyemok telah selesai, para tamupun berpamitan minta diri,
sedangkan Bunting dan Penganten baru ditunggalkan (tidur bersama) setelah hari
nyerawo, yaitu dua hari setelah pernikahan selesai.
Pada
hari tersebut lembongan/sempeng akan dibongkar dan semua gertang dan inang
diantar pulang secara resmi, dengan diberi hidangan setalam sebagai ucapan
terima kasih. Baru pada hari ketiga atau keempat Bunting dan Penganten tidur
bersama, didalam menunggalkan Bunting dan Penganten ini ditunjuk seorang
perempuan yang sudah nenek nenek untuk membawa penganten ke kamar bunting, Sang
nenek memberikan petunjuk dan membisikan sesuatu yang rahasia, lalu si nenek
keluar dari kamar, berikutnya kita tidak tahu apa yang terjadi didalam kamar.
Sebagai penutup adat pernikahan didaerah
Lintang IV Lawang, disini kami jelaskan dalam menentukan pasangan hidup ada
beberapa cara yang dikenal didaerah Lintang IV Lawang adalah sebagai berikut :
1 - Rasan Samo
Galak dan Dituokan.
Yaitu, muda mudi suka sama suka dan orang tua
kedua belah pihak sama sama setuju, prosesnya seperti yang telah diuraikan
diatas.
2 - Maling Tubu
Orang tua disalah satu pihak ada yang belum
setuju kalau anaknya cepat menikah atau karena alasan lain, sehingga setiap mau
dituokan selalu mengalami kegagalan. Maka sang muda mudi sepakat untuk maling
tubu, yaitu sang bujang menemui gadisnya untuk diajak kerumahnya, dengan cara
ini akan memaksakan orang tua untuk berasan.
Dalam maling tubu ini ada aturannya, antara
lain sang bujang harus menitipkan “keris” pada pemerintah kampong (kalau sekarang disebut Kades, zaman dahulu
disebut Gindo), atau paling tidak keris tersebut diletakan dibawah
bantal sang gadis (tentu menyuruh sang gadis itu sendiri meletakannya), sebab maling tubu ini tidak boleh ketahuan oleh
keluarga sang gadis, bila sampai ketahuan berakibat batal hak, yang disebut “kecandak”.
Keris yang dititipkan dirumah gindo atau yang
diletakan dikamar gadis tersebut dimaksudkan sebagai jaminan untuk keselamatan
sang gadis, bahwa yang membawa adalah anak laki laki dan berniat baik untuk
menyunting gadis.
Gadis yang dibawa harus ditemani oleh
beberapa orang temannya, sang bujangpun demikian, baru kemudian seorang yang
ditunjuk sebagai utusan dari pihak bujang untuk memberi tahukan kepada keluarga
gadis, bahwa anaknya sekarang ada dirumah sianu, untuk selanjutnya diproses
seperti biasa.
3 - Rasan Tambik
Anak dan Rasan Kesah
Pada saat memadu rasan harus tetap di tempat
mereka menetap setelah berumah tangga nanti.
“Rasan Tambik Anak”, berarti setelah
mereka menikah menetap dan mencari nafkah dirumah bunting (rumah perempuan),
sedangkan “Rasan Kesah”,
berarti perempuan ikut kerumah laki laki dengan ketentuan sebagai berikut ;
a. Laki laki harus memberikan uang yang wajar dan
b. Memberikan Keris kepada orang tua perempuan, Keris ini
dimaksudkan sebagai “Tebus
Semangat”.
4 - Kawin Cindo
Yaitu pernikahan yang masih ada hubungan family, hal ini terjadi
biasanya karena keinginan orang tua, dan bisa jadi karena keduanya suka sama
suka.
Sumber : http://forumlintangempatlawang.blogspot.com
Sumber : http://forumlintangempatlawang.blogspot.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus