Bila kita
bekunjung ke Desa Ujung Alih, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang,
akan kita jumpai sebuah batu besar yang cukup dikenal masyarakat sebagai batu
Jung (Perahu). Batu ini ternyata cukup bersejarah, dimana tempat
penambat tali Jung yang ditumpangi dua suami istri Puyang Rio Papak dan Puyang
Rio Serona, saat berlabuh di daerah pinggiran sungai Musi tersebut. Untuk
mengetahu lebih dekat kisahnya, berikut hasil wawancara dengan sesepuh
sekaligus P3N Ujung Alih, A Rahman beberapa waktu lalu.
Sekitar 500 tahun silam, wilayah Desa Ujung Alih masih
merupakan hutan belantara yang dilintasi aliran Sungai Musi yang cukup deras.
Disisi kiri dan kanan sungai terdapat cukup banyak bebatuan besar yang cukup
indah dipandang mata. Hingga kini bebatuan besar masih nampak terlihat di
sepanjang aliran sungai tersebut.
Batu Jung berada di seberang Desa Ujung Alih. Untuk bisa
melihat lebih dekat batu tersebut, saat ini sudah tersedia sarana penyeberangan
berupa jembatan gantung. Tak jarang masyarakat dari luar desa kerap berkunjung
hanya sekedar untuk melihat lebih dekat cerita legenda yang hingga kini masih
banyak masyarakat mengetahui kisahnya tersebut.
Konon, ratusan tahun silam Puyang Rio Papak dan Puyang
Rio Serona, sengaja berlabuh di tempat itu setelah beberapa hari menyisiri
sungai Musi dengan menggunakan perahu. Sebelum berlabuh di Desa Ujung Alih
(dulunya Desa Jung Alih), Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona, sengaja pergi
meninggalkan desa kelahiran mereka yakni Desa Karang Dapo, Kecamatan Ulu Musi.
‘’Saat itu Puyang Rio Papak dan Puyang Rio Serona hanya
pergi berdua dengan menggunakan perahu dan membawa barang kebutuhan seadanya,’’
demikian kata A Rahman mengawali ceritanya.
Sebelum pergi meninggalkan Karang Dapo, Puyang Rio Papak
dan Puyang Rio Serona kebetulan memiliki seekor ayam bruge (ayam hutan,red) yang
terbilang ada keajiban tersendiri. Begitu suami istri ini menaiki perahu,
puyang Rio Papak berkata kepada istrinya kalau mereka berdua akan terus menaiki
perahu dan mengikuti aliran sungai sebelum ayam bruge yang mereka bawa
berkokok.
Siang dan
malam, suami istri ini terus menyisiri aliran Sungai Musi dengan menggunakan
perahu. Sejumlah tempat sempat mereka mampiri guna untuk beristirahat, lalu
kemudian melanjutkan perjalanan dengan mengikuti aliran sungai. ‘’Beberapa kali
mereka berdua mampir dan beristirahat dipinggir sungai, tetap saja ayam yang
dibawanya tidak pernah berkokok,’’ tambah Rahman.
Perjalanan terus saja dilakukan, hingga akhirnya pada
siang hari suami istri ini mampir dipinggiran sungai Musi tepatnya di Desa
Ujung Alih. Ditempat ini puyang tersebut berlabuh di sebuah batu putih. Nah,
pada saat berlabuh inilah Puyang Rio Papak meletakkan ayam bruge yang dibawanya
diatas batu putih. Tiba-tiba saja, ayam tersebut berkokok berulang kali.
Tak pelak, Puyang Rio Papak kaget dan langsung mengajak
sang istri untuk menambatkan (mengikatkan) tali tambang perahu ke batu Jung
yang besarnya hampir menyerupai rumah tersebut. Jarak antara batu putih dan
batu Jung sekitar 300 meter kearah hilir sungai. ‘’ Puyang Rio Papak dan Puyang
Rio Serona lalu menambatkan tali perahunya di batu Jung, dan saat itu juga
langsung mengghentikan perjalanan mereka dan berlabuhlah selamanya di pinggiran
aliran sungai Musi,’’ ujar Rahman, seraya mengatakan kalau batu Jung adalah
tempat kedua puyang tersebut menambatkan tali tambang perahu.
Sejak itulah, Puyang Rio Papak bersama istri membina
keluarga di Desa Ujung Alih. Membangun tempat tinggal lalu kemudian mempunyai
keturunan. Anak cucu puyang Rio Papak ini pun bertambah banyak hingga akhirnya
kini terbentuklah sebuah perkampungan penduduk dan kini menjadi sebuah desa.
Kenapa desa ini disebut Jung Alih? ‘’Jung Alih artinya
pindah. Kenapa dikatakan pindah, karena kedua puyang ini berlabuh di Jung Alih
karena pindah tempat dari Desa Karang Dapo, Ulu Musi,’’ jelas Rahman.
Puyang Rio Papak, menurut Rahman mempunyai tiga orang
anak masing-masing Puyang Rio Benang, Puyang Kebal Aji Ronen dan Puyang Gadis.
‘’Puyang Rio Benang cukup dikenal kesaktiannya dapat menghidupkan orang yang
sudah meninggal di medan perang. Kalau puyang Kebal Aji Ronen mempunyai ilmu
kebal,’’ ungkapnya.
Nah, untuk puyang Gadis hingga kini mempunyai cerita
legenda kalau puyang satu ini tidak pernah ditemukan. ‘’Pada suatu hari puyang
Gadis mandi dipinggir sungai berseberangan dengan batu Jung. Ketika sedang
asyik mandi di sungai tersebut, tiba-tiba puyang Gadis hilang. Upaya pencarian
pun terus dilakukan namun hingga kini masih belum ditemukan,’’ ujarnya.
Konon,
hilangnya puyang Gadis ini karena disaat sedang mandi ia bertemu seekor naga
dan saat itu langsung ikut serta buaya tersebut dan menikah dengan buaya
tersebut. ‘’Itu sebabnya ditempat pemandian warga dihilir kampung ada yang
namanya saung naga, karena puyang Gadis hilang disana,’’ katanya.
Menurut
Rahman, batu Jung dan makam puyang Rio Papak dan Rio Serona hingga kini masih
sering dikunjungi masyarakat hanya sekedar untuk ziarah dan ingin melihat lebih
dekat cerita legenda tersebut. ‘’Bahkan kalau musim nomor buntut dulu banyak
pula yang sengaja datang untuk bertarak,’’ ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar