Kamis, 19 November 2015

Mengejar Mimpi Si Petani Kopi

Meski saya bukan petani tapi saya selalu ingin menjadi seorang petani. Bukan karena orang tua saya, keluarga besar saya, dan rata - rata penduduk kampung saya juga petani. Tetapi bertani bagi saya merupakan hal yang menyenangkan.  kebun adalah pelarian yang sempurna, lambaian daun-daun kopi muda berumur tiga atau empat bulan, atau bunga-bunga putih harum yang memenuhi dahan-dahan kopi berumur dua tahun menjadi obat penat sekaligus herbal penyegar tubuh.



Berkebun kopi sudah dilakukan secara turun temurun sejak kapan saya tak tahu kapan persisnya. Bapak saya petani kopi, nenek saya juga petani kopi, cerita nenek dulu bapaknya nenek juga petani kopi. Kopi adalah penghasilan utama penduduk Lintang Empat Lawang, selain beras. Ribuan hektar kebun kopi tersebar di tiga kecamatan di daerah saya. Jika saat musim panen tiba, antara April sampai September, saat itu sudah mulai masuk musim panen, namun puncaknya nanti pada bulan Juni hingga Agustus, maka wajah-wajah petani kampung saya terlihat sumringah, apalagi jika harga kopi mahal. Saat ini harga biji kopi kering di kampung saya ada dikisaran Rp 19.000-Rp 20.000 perkilo dan untuk bubuk kopi siap seduh Rp 40.000 – Rp 50.000.- Harga ini termasuk bersahabat dengan petani, mengingat harga-harga kebutuhan pokok juga tidak karu karuan.



Di Lintang Empat Lawang Hampir seluruh petani menanam kopi. dulu perna pada  waktu harga kopi melambung tinggi orang-orang membabat seluruh kebun, hutan sampai bukit  untuk ditanami kopi. Siapa yang tidak tertarik menanam kopi waktu itu? Ketika orang-orang terkena krisis moneter, para petani kopi justru merasa bagai di surga.
Harga kopi melangit. Para petani yang menanam kopi jadi orang kaya seketika. Banyak di antara penduduk desa yang saking banyak uangnya, mereka bingung harus menaruhnya di mana. Ada yang membeli motor, mobil, dan sebagainya. Lucunya, ada yang membeli alat-alat elektronik seperti Tivi, kulkas, bahkan antena parabola, padahal di rumahnya saat itu belum ada aliran listrik. Disimpan saja dulu, alasan mereka. Akhirnya kulkas pun berubah fungsi jadi lemari pakaian.
Pada masa itu para petani bagai orang gila. Uang dihambur-hamburkan saja, seakan-akan tiada harganya. Bahkan ada yang sampai menggulung tembakau dengan uang kertas, lalu menyulutnya sebagai rokok. Apa yang mereka ingin dapat mereka beli. Anak-anak sekolah menyimpan uang di saku mereka jumlahnya kadang-kadang hampir setengah juta.
Itulah Manusia. kadang mereka lupa bahwa keadaan tidak selamanya akan berjaya. Harga kopi tiba-tiba anjlok. Harga satu karung goni kopi saja bahkan tidaklah cukup untuk sekedar membayar upah orang yang mengangkutnya. Masyarakat panik. Uang mereka sedikit-demi sedikit mulai terkikis. Semua kebutuhan bahan makanan harus mereka beli. Setelah uang yang disimpan sudah habis, orang-orang mulai menjual lagi barang-barang yang dulu dibeli, dengan harga yang jauh lebih murah tentunya. Meskipun barang-barang itu ada yang belum pernah mereka nyalakan sekali pun, orang tetap tak akan mau membelinya dengan harga seperti ketika dibeli dulu.
Tapi sekarang harga kopi memang sudah cukup lumayan, sehingga banyak para petani mulai kembali lagi ke kebun kopinya, kembali memompah semangatnya berangkat ke talang di atas bukit nun jauh disana,  berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya, mendaki tebing curam, batu terjal & derasnya arus sungai.
Berbulan-bulan sampai bertahun-tahun meringkuk di sebuah dangau kecil di tengah kebun kopi jauh di tengah hutan sana, demi menggantungkan mimpi yang kelak merubah keadaan hidup.



Tradisi minum kopi di kampungku bukan sekedar menikmati sajian segelas air yang dihitami oleh sesendok bubuk kopi, lebih dari itu minum kopi merupakan simbol keakraban, kekeluargaan dan persahabatan.   Maka jika anda berkunjung ke Lintang Empat Lawang, kampung saya, maka rasanya kurang hormat kami sebagai tuan rumah jika tidak menyajikan  kopi

Entah sejak usia berapa saya mulai menyeruput kopi dengan segala sensasi dan konsekuensi yang ditimbulkan. Bukan karena ikut-ikutan gaya hidup atau semacamnya, tetapi secara keluarga adalah peminum kopi dan ditambah lagi lingkungan geografis sebagai penghasil kopi yang mempunyai sejarah cukup panjang.


Bagi pecinta dan penikmat kopi jika berkunjung ke kampungku maka itulah surganya, tapi jika anda bukan peminum atau penikmat kopi maka anda akan tersiksa, karena setiap bertamu anda akan disuguhi kopi, jarang sekali ada teh apalagi jika hanya air putih he he Kampung saya adalah kampungnya petani kopi.
Lebih dari itu, ternyata dibalik nikmatnya secangkir kopi juga menyimpan pahitnya hidup petani kopi. Pernahkah kita peduli atau setidaknya mengingat para petani kopi ketika menyeruput secangkir kopi? Pernahkan membayangkan bagaimana kopi itu diproduksi dan diproses hingga hadir di hadapan kita? Pernahkah kita berempati ketika harga-harga kopi petani jatuh hingga terkadang biaya produksi, bahkan sekadar biaya petik lebih mahal dari harga produknya? Nasib petani kopi kita terkadang setali dengan rasa kopi tanpa gula, pahit! Tetapi pahitnya jelas tanpa sensasi seperti pahitnya kopi yang sering kita nikmati.



Seorang kawan bahkan pernah blusukan dan menuliskan hasil risetnya tentang kopi-kopi yang dihasilkan petani-petani kecil di Empat lawang yang rata-rata bermutu rendah. Oleh karenanya, kopi-kopi petani itu pun juga dihargai rendah oleh para tengkulak dan pabrik pengolah kopi. Petani tak kuasa menentukan dan menciptakan grade tertentu akibat berbagai keterbatasannya. Sementara pabrik pengolah kopi itu hanya mau tahu kopi yang dibeli dari petani harus bermutu sesuai keinginannya.

Disaat lain, dalam penentuan mutu kopi, pembeli seringkali curang dengan hanya mengandalkan kepekaan tangan mereka meskipun memiliki alat pengukur kadar air yang lebih canggih. Mereka hanya mengandalkan tangan jika menghadapi petani sehingga bisa mengakali kadar air sesungguhnya, tentunya untuk menekan harga ditingkat petani dan mencari keuntungan yang lebih besar, karena harga yang diterima petani dari pedagang tak lebih dari setengah harga di pasar. Ini tentu membuat petani sangat menderita.

Dari secangkir kopi, juga memunculkan bagaimana pertarungan ekonomi kopi terjadi. Tak sekadar antara petani dan pengusaha atau tengkulak-tengkulak, tetapi juga merembet ke warung kopi yang dianggap tradisional berhadapan dengan cafe-cafe yang lebih modern dan bahkan berbentuk corporate multinasional. Mereka, para pengusaha besar memunculkan persaingan ketat antar pengusaha kopi (instan) dengan cara perang iklan di media. Hasilnya, saya yakin mereka sebagian besar mereguk keuntungan yang besar, sementara petani-petani kopi skala kecil banyak yang terinjak oleh pertarungan mereka. Begitulah, menikmati secangkir  kopi memang bisa mendapatkan sensasi dan bahkan pengalaman batin tersendiri. Lalu, apa yang anda rasakan ketika menikmati secangkir kopi?

2 komentar: