Rabu, 05 November 2014

"Lumpatan" Budaya Gotong Royong Menangkap Ikan






Gotong-royong ternyata masih menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Meski gotong-royong dianggap sebagian orang adalah budaya lama seiring masuknya budaya Individualisme mulai tersingkir, namun bagi Masyarakat Desa Terusan Lama Kecamatan Tebingtinggi Kabupaten Empatlawang, ini adalah budaya yang harus dilestarikan.
Hal ini terlihat pada pembuatan perangkap ikan raksasa yang dipasang di tengah sungai Musi yang ber arus deras, masyarakat di sana menyebutnya dengan “Lumpatan”. Menariknya, kebiasaan gotong-royong ini
ternyata dilakukan turun-temurun. Berikut hasil penelusuran tentang “Lumpatan”.



Tebingtinggi, Empatlawang – Di tengah derasnya arus sungai Musi di kawasan objek wisata Pantai
Terusan, Desa Terusan Lama Kecamtan Tebingtinggi, Kabupaten Empatlawang. Tampak beberapa orang sedang sibuk menyusun bambu-bambu
membuat “Lumpatan”.

Lumpatan adalah perangkap ikan raksasa terbuat dari 4 ratusan lebih batang bambu yang diikatkan didasar sungai. Bangunan ini memiliki panjang tidak kurang dari 40 meter lebar 8 meter. Berbentuk menyerupai prisma yang arah rendahnya berhadapan langsung dengan derasnya sungai. Di sebelah hilirnya dibuat meninggi dan didirikan sebuah pondokan (gubuk) kecil untuk istirahat para pemiliknya sembari menunggu ikan memasuki perangkap tersebut. Tidak diketahui pasti, kapan budaya ini dimulai.
Menurut Sarnubi (50), salahsatu Ketua kelompok pembuat Lumpatan, tradisi membuat Lumpatan diadakan setahun sekali sejak jaman nenek moyang mereka. Waktu pembuatan dipilih ketika debit air sungai sedang
menyusut atau pada musim kemarau. Anggotanya tidak kurang dari 10 orang dan maksimal 15 orang, masing-masing memiliki peran berbeda.

“Sebelum membuat Lumpatan kami bersama-sama meninjau kebun bambu, dirasakan bambunya cukup kami pun bermusyawara membagi peran masing-masing,” ungkapnya.
Dikatakannya, di desanya memiliki lebih dari 4 kelompok pembuat Lumpatan, setidaknya ada 2 orang tenaga ahli perancang dalam satu kelompok, meskipun demikian kerjasama yang kompak sesama anggota
menjadi penentu bagus tidaknya Lumpatan didirikan. “mengenai dana, semuanya hasil dari patungan sesama anggota, dana yang terkumpul untuk membeli peralatan seperti paku dan tali,” kata Arahman (48), salahsatu anggota yang lain menimpali.

Dijelaskan Arahman, pembuatan Lumpatan membutuhkan waktu 14 hari, itu tidak termasuk waktu pengumpulan bahan-bahan utama seperti Bambu dan Rotan.
Jika dinyatakan Lumpatan selesai dibangun, sebelum Anggota secara bergiliran menjaga Lumpatan, Seluruh anggotapun mengadakan acara ritual Do’a bersama di pondokan yang ada di Lumpatan tersebut memohon rezeki kepada Tuhan YME dan diahiri dengan makan bersama. “jika sudah selesai, Kami Sedekahi dulu lalu bergiliran menjaganya,

hasil dari tangkapan ikan pun dibagi rata, setiap pancang (anggota-Red) mendapatkan bagian yang sama,” terang Arahman.
Mengenai kekuatan atau ketahanan terhadap derasnya arus sungai, Arahman berani menjamin minimal 6 bulan maksimal 12 bulan.
“6 sampai 12 bulan lah, jika air meluap, inikan tenggelam makanya setiap tahun kami bangun kembali,” imbuhnya.

Kepala Desa Terusan Lama, Fahrozi ketika disambangi dikediamanya, Selasa (19/8). Membenarkan adanya budaya membuat Lumpatan di desanya,
menurut Dia ini murni budaya turun-temurun dalam hal ini selaku pemerintahan tidak ikut dilibatkan.
“Ini murni budaya, jadi untuk membuat lumpatan itu berdasarkan kelompok-kelompok yang membuat, Uniknya untuk membuat lumpatan itu sudah ada kelompok turun-temurun, kalau ada orang baru yang mau
bergabung dalam pembuatan lumpatan harus mengikuti aturan yang didalam kelompok Tersebut.” terang Fahrozi.

Dikatakanya, budaya Lumpatan adalah asli budaya Empatlawang yang harus dilestarikan, karena itu memiliki nilai filosopi tersendiri. Dari budaya musyawarah, gotong-royong, kebersamaan dan kekeluargaan, menyatu dalam budaya Lumpatan.
“Banyak nilai yang terkandung dalam budaya lumpatan, dan ini asli budaya Empatlawang, sayangnya cuma Desa kami yang masih bertahan,itupun tidak lebih dari 4 kelompok yang tersisa,” imbuhnya.
Fahrozi berharap, ada kepedulian Pemkab Empatlawang terhadap budaya asli seperti ini, sehingga tidak punah, dan jika dapat dikelola dengan baik dapat menjadi daya pikat tersendiri bagi masyarakat luar Empatlawang untuk mengunjungi dan melihat langsung budaya Lumpatan.
“karena membuat Lumpatan ada waktu-waktu tertentu, tentu dapat dijadikan acara layaknya sebuah festival,” ucap Fahrozi.

Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Empatlawang, Hj. RR. Endang DS melalui kabid kebudayaan, Hartilinsi sangat mendukung pelestarin kebudayaan di Empatlawang, apalagi menyangkut dengan kebudayaan asli tentu pihaknya akan merespon sejauh mana perkembangan kebudayaan itu sendiri. Untuk budaya Lumpatan pihaknya akan bekerjasama dengan Pemerintahan Desa guna menggali lebih dalam budaya Lumpatan tersebut.
“Pemerintahan empatlawang dalam hal ini Disbudpar sangat mendukung pelestarian budaya di empatlawang termasuk budaya Lumpatan. Karena masih banyak sekali budaya yang belum tergali, peran serta masyarakat Saya harapakan untuk dapat menggalinya bersama-sama,” ujar Hartilinsi didampingi Kasibinabudaya, Sudiargo di Ruang tugasnya.

Dijelaskannya, untuk budaya Lumpatan ini nantinya akan dimasukkan kedalam program Pelestarian dan Aktualisasi Adat Budaya Daerah. “kedepannya nanti kita bisa menggundang wisatawan, bahwa inilah
Lumpatan salah satu ciri khas empatlawang yang terletak di desa Terusan Lama serta dengan adanya lumpatan ini bisa menjaga kelestarian lingkungan. Karna penangkapan ikan seperti ini tidak merusak ekosistem alam,” terangnya.

Sumber : mangoci4lawang.worldpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar