Rabu, 30 Desember 2015

Pemimpinku Pahlawan Atau Pecundang, Jangan Buta Hati

Bapak-bapak, Ibu-ibu, Mamang-mamang, Bicik-bicik, Adek-adek & Kanco-kanco yang saya muliakan...
Pertama-tama, saya mengucapkan turut prihatin yang sedalam-dalamnya dengan kondisi daerah kita tercinta Empat Lawang ini, dengan berbagai musibah yang menimpah, khususnya bagi pemimpin daerah kita.

Sudah letih rasanya kita selalu menjadi daerah yang tertinggal  mekipun dari tanggal 20 April 2007, daerah kita Lintang IV Lawang  diresmikan sebagai Kabupaten yang ke 15 di Propinsi Sumatera Selatan, Delapan tahun adalah waktu yang cukup untuk kita belajar menjadi daerah yang mandiri, tapi bagaimana kita mau cepat mandiri, saat sekarang ini saja hampir setiap hari dapat dibaca dengan jelas berita-berita tentang kasus-kasus kejahatan ekstrim dan juga kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin kita.

Kenapa  sih harus pemimpin kita...????  yah manusiawi si karena pemimpin itu dekat dengan kuasa.
Setiap Pemerintahan baik dalam kondisi normal atau pun dalam krisis politik, selalu menghasilkan dua alternatif: kehancuran dan kebangkitan, serta melahirkan pahlawan dan pecundang.
Dia yang menjadi pencundang bukan karena kalah dalam pertarungan. Tapi, karena mereka memilih untuk takluk pada kepentingan pribadinya, di daerah kita yang  masih membutuhkan pengorbanan, kejujuran dan contoh teladan.
Sementara itu, Pahlawan adalah dia yang rela menanggung derita, kecewa, bahkan kesempatan untuk menjadi populer karena berani berbeda pendapat dengan opini arus utama (mainstream) demi memajukan daerahnya. Pahlawan adalah dia yang berani bersikap tegas dan konsisten membela kebenaran dan menempatkan kepentingan daerahnya di atas kepentingan pribadinya.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya dari berbagai media tentang kasus korupsi Bupati Empat Lawang Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa kasus suap mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, Bupati nonaktif Empat Lawang Budi Antoni dan istrinya Suzana Budi Antoni dengan pidana 6 tahun 4 bulan dikurang Rp 200 juta, subsider 2 bulan dan untuk sang istri, 4 tahun denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan.
Dan tuntutan ini membuat geram dan tak dapat di terima oleh para pendukung dan simpatisannya, seharusnya kita para pendukung sudah sepatutnya tidak menganggap pimpinan dukungan kita selalu benar, sebaliknya kita pendukung semestinya menjadi kontrol dalam pemimpin dalam menjalankan tugasnya.


Memang benar adanya Kasta tertinggi yang ada di Negara ini tentunya dan pastinya adalah golongan koruptor, mengapa golongan koruptor? Karena golongan ini bisa melakukan apa yang dia mau dengan materinya. Lalu, orang-orang kasta dibawahnya tidak bisa melawan meskipun sudah ada lembaga independent, sebaliknya malah sebagian menjadi penjilat-penjilat yang mengharap mendapatkan bagian keuntungan dengan kedudukan pemimpinnya.

Negeri lelucon dimana yang jahat bisa bangga, hidup damai dan tentram. Sementara yang baik dan jujur akan tertindas. Dinegara-negara lain jangan harap bisa seperti itu. Bila ada tindakan korupsi dan perbuatan bejat, pasti sudah didemo habis-habisan, ditekan habis-habisan atau mungkin kantor dan rumahnya diserbu oleh rakyat. Seseorang pejabat yang terbukti merugikan rakyat dan negara pasti sudah akan hilang tidak pernah muncul lagi, dipenjara, dibuang atau malu sehingga lari mengasingkan diri bahkan mungkin bunuh diri karena malu seperti di Jepang.

Kita semua bisa menjadi pecundang. Bisa pula menjadi pahlawan. Sebab predikat demikian sangat situasional dan tergantung siapa yang memberikan. Seorang pahlawan hari kemarin, bisa menjadi pecundang hari ini. Begitu pula sebaliknya. Celakalah mereka yang terus-menerus memainkan peran pencundang dari hari kemarin hingga kini