Rabu, 20 Maret 2013

Mitos Tebat Seghut, Sarang Siluman Bumi Empat Lawang



Daerah Lintang Empat Lawang atau orang tua zaman dahulu lazim menyebutnya Empat Lawang terkenal sebagai daerah yang melahirkan banyak pahlawan dan pendekar. Nama Empat Lawang itu sendiri mengandung arti empat orang pahlawan yang berasal dari Daerah Lintang.
Keempat pahlawan (pendekar) itu adalah leluhur Orang Lintang yang pernah berjasa menyelamatkan Sunan Palembang dari sergapan musuh. Atas jasa mereka itu Sunan Palembang memberi mereka gelar Pahlawan. Karena mereka berasal dari Lintang maka disebut Empat Pahlawan dari Lintang.
Daerah Lintang Empat Lawang ini berada dalam wilayah Sumatera Selatan, berbatasan langsung dengan Provinsi Bengkulu. Kepahlawanan dan kependekaran orang-orang Lintang sudah tenar di seantero Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dalam pertempuran orang Lintang punya semboyan Nedo Munuh, Mati Jadilah (tidak membunuh, mati jadilah). Semboyan ini tetap dipegang teguh sampai sekarang.
Di daerah ini banyak terdapat tempat-tempat angker yang menjadi sarang mahluk halus sejenis peri (jin perempuan), mesumai (siluman yang pandai menyamar jadi seseorang), jin, dan ular siluman.
Tempat angker itu diantaranya Tebat Seghut, Pangkal Jeramba Ayik Lintang, Ayik Gaung, dan Hutan Larangan dan beberapa tempat lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Dalam tulisan ini aku hanya menceritakan seputar misteri Tebat Seghut. Tempat ini berupa danau kecil yang disebut Tebat (bahasa Lintang,red) yang penuh belukar (”seghut” bahasa Lintang,red).
Tebat Seghut ini pada zaman dahulu dikuasai oleh Repati Qoris (Repati atau depati adalah sebutan untuk raja bawahan Sunan Palembang). Sekarang keturunan Repati Qoris yang mewarisinya. Sejak masa Repati Qoris hingga keturunannya Tebat Seghut dijadikan tempat memelihara ikan, yang akan dipanen setahun sekali.
Keangkeran Tebat Seghut sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Lintang, khususnya yang berada di desa-desa terdekat seperti Desa Gunung Meraksa Baru, Beruge Tengah, Batucawang, Manggilan, Beruge Ilir, Pendopo Lintang. dan Muaralintang.
Ular Raksasa
Pada era tahun 70-an keangkeran Tebat Seghut masih sering terdengar. Berbagai penampakan baik siang maupun malam sering jadi buah bibir. Pada waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Cerita-cerita seram tentang Tebat Seghut sangat akrab di telingku. Apalagi tempat ini masih masuk dalam wilayah desaku, Gunung Meraksa Baru.
Suatu hari teman sekolahku bernama Saman ikut orang tuanya memancing ikan di Tebat Seghut. Hari itu adalah Jumat. Perlu diketahui bahwa hari Jumat adalah hari terlarang bagi warga setempat untuk mendekati Tebat Seghut apalagi saat orang sholat Jumat.
Sebagaimana lazimnya hari Jumat ,jam sekolah lebih pendek, pukul 11.00 anak-anak sudah pulang. Hari itu sepulang sekolah Saman langsung menghambur ke kebun, menyusul orang tua dan kakak-kakaknya.
          Sesampai di kebun yang berada di tepi Tebat Seghut, Saman mengajak kakak dan ayahnya memancing ikan. Dia terpikat melihat ikan melompat-lompat seakan mengundang dia bermain di air. Mang Dahlan, ayah Saman juga berhasrat membakar ikan untuk lauk makan siang. Maka mereka pun naik rakit bambu melayari air Tebat Seghut menuju ke tengah. Mereka kemudian asyik memancing ikan. Apalagi hari itu ikan sangat mudah melahap umpan di mata kail, sehingga dalam waktu sebentar saja mereka sudah mendapat banyak ikan.

          Merasa belum puas dengan hasil yang didapat, Mang Dahlan bermaksud menggeser rakit ke tempat yang diperkirakan ikannya lebih besar. Saman dan kakaknya ikut mengayuh galah bambu sebagai alat menggerakkan rakit supaya meluncur di air.
Saat itulah, tutur Saman, terjadi keanehan. Rakit yang semula amat mudah digerakkan mendadak tidak mau bergeser. Tiap kali mereka mengayuh galah bambu, rakit hanya berputar-putar di tempat. Karena jengkel, Mang Dahlan mengumpat-umpat sambil membentak, ”Hai setan! Jangan ganggu kami, kalau berani keluar!”.
Sesaat setelah ayahnya mengumpat dan mengeluarkan makian, kata Saman, air di sekitar rakit tiba-tiba menggelegak, mengeluarkan buih seperti air mendidih. Mereka semua terkejut. Namun, belum hilang rasa tekejut itu mereka dikagetkan lagi dengan munculnya seekor ular raksasa sebesar batang kelapa.

”Saya tak kuasa menahan kencing,” kata Saman. Sedangkan ayahnya langsung terduduk lemas di atas rakit, begitu pula dengan kakaknya. Sesaat mereka terpukau, tak bisa berbuat apa-apa.
Untung saja ayah Saman cepat menyadari kekeliruannya. Dia langsung memohon maaf pada penguasa Tebat Seghut dan menyatakan penyesalan. ”Ninek, puyang penunggu Tebat Seghut, aku minta maaf, aku ngaku salah. Tolong bebaskan kami”, Mang Dahlan menghiba sambil berlutut.
Seakan mengerti permintaan maaf Mang Dahlan, ular besar yang tadi mengangkat kepala menjulang setinggi lima meter, itu mendadak menceburkan diri kembali ke dalam air. Rakit yang ditumpangi Mang Dahlan dan dua anak lelakinya itu terguncang-guncang oleh gelombang air bekas hempasan tubuh ular raksasa tadi.
Setelah ular itu menghilang di kedalaman air Tebat Seghut, barulah rakit yang mereka tumpangi bisa dikemudikan lagi. Mereka lalu cepat-cepat menepi, lalu mendarat membawa ikan hasil mancing.
Sejak saat itu, kata Saman, mereka tidak berani lagi sembarangan turun mencari ikan di Tebat Seghut.
Dilarikan Mesumai
Mesumai adalah sebutan masyarakat Lintang untuk makhluk halus yang biasa menyamar menjadi seseorang. Makhluk ini terkenal jahil, suka menyembunyikan seseorang dengan menyamar sebagai teman dekat, saudara atau orang tua kita.
Kemunculannya biasanya saat menjelang maghrib, tengah hari waktu menjelang shalat dzuhur atau shalat jumat atau di tempat-tempat sepi.
Suatu hari tahun 1976, desaku kedatangan seorang guru dari Yogyakarta. Sumanto, nama guru itu. Dia mengajar di SMP Negeri Pendopo Lintang. Pak Sumanto, demikian kami biasa memanggilnya, dia mondok di rumah uwakku yang mengakuinya sebagai anak angkat.
Sejak kedatangannya di desaku, dia sudah diberitahu tentang berbagai pantangan di sini. Misalnya, saat menjelang waktu-waktu shalat tidak boleh melakukan perjalanan ke tepi hutan atau ke kebun. Pulang dari kebun jangan terlalu sore apalagi sudah mendekati waktu maghrib. Jika berada di kebun atau hutan tidak boleh berteriak-teriak memanggil nama orang.
Peringatan itu ternyata tidak menjadi perhatian Pak Sumanto. Dia merasa berasal dari kota besar yang jauh dari kepercayaan berbau tahayul. Hal-hal yang lazim jadi pantangan warga setempat diabaikan saja oleh Pak Sumanto.

          Hingga pada suatu hari hal yang ditakutkan terjadi menimpa Pak Sumanto. Lelaki penyandang Dan II Karate itu dikabarkan hilang. Seisi kampung geger. Semua lelaki dewasa dan anak-anak muda dikerahkan mencarinya ke dalam hutan kawasan Tebat Seghut. Pencarian berlangsung hingga tengah malam.
Pada saat tim pencari sudah berkumpul kembali di desa dengan tangan hampa, Pak Sumanto tiba-tiba muncul di samping rumah seorang warga. Dia ditemukan dalam keadaan linglung dan berusaha melarikan diri ketika berjumpa penduduk. Untung warga cepat tanggap dan langsung meringkusnya. Dia langsung dibawa pulang dan dimandikan. Setelah dibacakan beberapa ayat Al Quran barulah Sumanto sadar. Dia terheran-heran melihat banyak orang mengerubunginya.

          Apa yang dialami Pak Sumato hari itu? Menurut penuturannya, siangnya, tepatnya pukul 11.30, kebetulan hari itu Jumat, dia berangkat ke kebun cengkeh milik ibu angkatnya. Dia ingin membantu memetik cengkeh. Padahal, ibu angkatnya sudah melarang dan menyarankan agar dia berangkat ke kebun seusai waktu shalat jumat. Ternyata diam-diam dia tetap berangkat.

          Ketika mendekati hutan, tutur Pak Sumanto, tiba-tiba dia lupa arah ke kebun. Dia berputar-putar di satu tempat, tidak ketemu jalan. Berulang-ulang dia berjalan, tapi kembali ke tempat itu-itu juga. Akhirnya dia kelelahan, lalu beristirahat di bawah sebatang kelapa.
Saat dia beristirahat itulah ada seorang lelaki pendek dan kekar berpakaian serba hitam menghampirinya. Pak Sumanto langsung saja bertanya pada orang itu arah ke kebun Pak Haji Azis, bapak angkatnya. Lelaki berpakaian hitam itu menunjuk ke satu arah sembari menawarkan jasa mengantar Pak Sumanto.
Menurut Pak Sumanto dia mengikuti orang misterius itu berjalan menuju kebun Haji Azis. Dia merasa baru berjalan beberapa menit ketika ditemukan orang di dekat sebuah rumah penduduk. ”Saya baru sadar setelah berada di rumah, ternyata saya berjalan hampir sehari penuh,”tuturnya. Sejak saat itu Pak Sumanto berhati-hati bila mendekati kawasan Tebat Seghut.


Sumber :  http://forumlintangempatlawang.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar